Kasus Autoimun Indonesia Meningkat, Perempuan Produktif Paling Rentan Terkena

Sabtu, 27 Desember 2025 | 10:05:57 WIB
Kasus Autoimun Indonesia Meningkat, Perempuan Produktif Paling Rentan Terkena

JAKARTA - Penyakit autoimun kini menjadi perhatian serius di bidang kesehatan, seiring dengan meningkatnya jumlah penderita di berbagai negara, termasuk Indonesia. 

Kondisi ini tidak hanya memengaruhi kualitas hidup pasien, tetapi juga berpotensi menimbulkan komplikasi jangka panjang jika tidak ditangani secara tepat. Data terbaru menunjukkan bahwa autoimun bukan lagi penyakit langka.

Berdasarkan catatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, jumlah penderita autoimun di Tanah Air diperkirakan telah menembus angka 2,5 juta orang. Angka tersebut mencerminkan tren peningkatan yang signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Autoimun sendiri terjadi ketika sistem kekebalan tubuh yang seharusnya melindungi justru menyerang sel dan jaringan sehat.

Fenomena ini menjadi semakin kompleks karena autoimun dapat menyerang berbagai organ tubuh dengan gejala yang beragam. Tidak sedikit penderita yang baru menyadari kondisi tersebut setelah penyakit berkembang cukup jauh. Oleh karena itu, pemahaman masyarakat mengenai autoimun menjadi faktor penting dalam upaya pencegahan dan penanganan dini.

Autoimun dan Ragam Penyakit yang Ditimbulkan

Dokter Spesialis Penyakit Dalam Subspesialis Alergi Imunologi Primaya Hospital Bekasi Barat, Syahrizal, menjelaskan bahwa hingga kini telah teridentifikasi lebih dari 100 jenis penyakit autoimun. Sebagian penyakit tersebut hanya menyerang organ tertentu, sementara lainnya bersifat sistemik dan dapat memengaruhi banyak organ sekaligus.

Organ yang kerap terdampak meliputi kulit, sendi, paru-paru, usus, sistem saraf, hingga kelenjar tiroid. Kondisi ini membuat autoimun sering kali sulit dikenali pada tahap awal. Setiap jenis autoimun dapat menimbulkan keluhan yang berbeda, tergantung jaringan tubuh yang diserang oleh sistem imun.

Autoimun tidak muncul secara tiba-tiba. Penyakit ini umumnya dipicu oleh kombinasi berbagai faktor yang saling berkaitan. Faktor genetik, lingkungan, serta kondisi tubuh seseorang berperan besar dalam memicu gangguan pada sistem kekebalan tubuh tersebut.

Perempuan Usia Produktif Paling Berisiko

Syahrizal mengungkapkan bahwa risiko autoimun diketahui lebih tinggi pada perempuan usia produktif. Risiko tersebut semakin meningkat apabila terdapat riwayat keluarga dengan penyakit autoimun. Kondisi ini menjadikan perempuan sebagai kelompok yang perlu lebih waspada terhadap gejala awal.

Selain faktor genetik, infeksi tertentu, stres berkepanjangan, ketidakseimbangan hormon, serta paparan polusi dan zat kimia seperti asap rokok turut berperan. Pola makan yang tidak seimbang dan gaya hidup tidak sehat juga dapat memperburuk respons sistem imun dan memicu peradangan dalam tubuh.

Data Global Autoimmune Institute tahun 2024 menunjukkan bahwa sekitar 78 persen penderita autoimun adalah perempuan, terutama pada rentang usia 15 hingga 44 tahun. Kecenderungan ini diyakini berkaitan dengan perbedaan biologis, termasuk kromosom, fluktuasi hormon estrogen, serta respons imun yang berbeda antara perempuan dan laki-laki.

Gejala yang Kerap Diabaikan

Gejala autoimun sering kali bervariasi dan tidak spesifik, tergantung pada organ yang terdampak. Namun, terdapat beberapa keluhan umum yang kerap muncul, seperti kelelahan berat berkepanjangan, nyeri atau pembengkakan sendi, serta ruam kulit atau sensitivitas terhadap sinar matahari.

Selain itu, gangguan pencernaan berulang, demam tanpa penyebab jelas, serta rasa tidak nyaman yang terus muncul juga patut diwaspadai. Sayangnya, banyak orang menganggap gejala tersebut sebagai keluhan ringan akibat kelelahan atau stres biasa.

Akibatnya, tidak sedikit pasien yang baru memeriksakan diri ketika kondisi sudah berkembang menjadi kronis. “Pengenalan gejala sejak dini sangat menentukan keberhasilan penanganan. Jika mulai merasakan keluhan-keluhan tersebut, sebaiknya segera berkonsultasi ke dokter,” ujar Syahrizal.

Ia menambahkan bahwa proses diagnosis sebaiknya dilakukan secara menyeluruh. Langkah ini mencakup penelusuran riwayat kesehatan pribadi dan keluarga, evaluasi gejala, pemeriksaan fisik, hingga pemeriksaan laboratorium serta tes penunjang lainnya.

Penanganan dan Perubahan Gaya Hidup

Apabila tidak dikendalikan dengan baik, penyakit autoimun berisiko menimbulkan komplikasi serius. Beberapa di antaranya adalah kerusakan organ permanen, seperti ginjal pada lupus atau sistem saraf pada multiple sclerosis. Risiko penyakit jantung dan gangguan kehamilan juga dapat meningkat.

Selain dampak fisik, penderita autoimun kerap menghadapi beban psikologis. Kecemasan, depresi, dan penurunan kualitas hidup menjadi tantangan yang sering dialami, mengingat penyakit ini bersifat kronis dan membutuhkan penanganan jangka panjang.

Terkait terapi, Syahrizal menjelaskan bahwa penanganan akan disesuaikan dengan jenis serta tingkat keparahan penyakit. Kondisi kesehatan pasien secara keseluruhan juga menjadi pertimbangan penting. Penanganan dapat meliputi pengaturan pola makan, pemberian obat untuk mengendalikan peradangan, imunoterapi, hingga terapi plasma exchange pada kondisi tertentu.

“Tujuan utama terapi bukan hanya meredakan gejala, tetapi menstabilkan sistem imun agar pasien dapat menjalani aktivitas sehari-hari dengan lebih baik,” jelasnya. Selain pengobatan medis, perubahan gaya hidup juga memegang peranan besar dalam menjaga stabilitas penyakit.

Istirahat yang cukup, olahraga teratur, manajemen stres, serta kepatuhan terhadap terapi dianjurkan untuk mendukung pengendalian autoimun jangka panjang. Dukungan psikologis dan edukasi bagi keluarga pun menjadi bagian penting, mengingat pasien membutuhkan pendampingan berkelanjutan dalam menjalani kehidupan sehari-hari.

Terkini