Penyakit Gusi

Penyakit Gusi Ancam Kehamilan Sehat dan Picu Risiko Penyakit Serius

Penyakit Gusi Ancam Kehamilan Sehat dan Picu Risiko Penyakit Serius
Penyakit Gusi Ancam Kehamilan Sehat dan Picu Risiko Penyakit Serius

JAKARTA - Kesehatan gigi dan gusi kerap dipandang sebagai persoalan sepele yang hanya berkaitan dengan rongga mulut. 

Padahal, di balik keluhan gusi berdarah atau bengkak, tersimpan risiko serius bagi kesehatan tubuh secara keseluruhan. Pada ibu hamil, kondisi ini bahkan dapat berdampak langsung pada kesehatan janin yang sedang berkembang.

Selama kehamilan, tubuh perempuan mengalami berbagai perubahan fisiologis yang membuatnya lebih rentan terhadap peradangan, termasuk pada gusi. Jika tidak ditangani dengan baik, penyakit gusi dapat memicu rangkaian masalah kesehatan, mulai dari gangguan kehamilan hingga peningkatan risiko penyakit tidak menular. Hal inilah yang kini semakin banyak disoroti oleh para ahli.

Guru Besar Ilmu Periodonsia Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran, Amaliya, menegaskan bahwa penyakit gusi memiliki keterkaitan erat dengan kondisi kehamilan. Menurutnya, kesehatan pembuluh darah menjadi faktor kunci yang menghubungkan gusi, ibu hamil, dan janin di dalam kandungan.

Peradangan Gusi dan Dampaknya pada Janin

Amaliya menjelaskan bahwa selama kehamilan, janin memperoleh nutrisi dan oksigen melalui plasenta. Proses ini sangat bergantung pada kondisi pembuluh darah yang sehat dan berfungsi optimal. Masalah akan muncul ketika ibu mengalami peradangan gusi sebelum atau selama kehamilan.

“Jika sebelum atau selama kehamilan, ibu mengalami peradangan gusi, tubuh akan melepaskan mediator inflamasi atau sinyal peradangan,” paparnya. Sinyal ini tidak hanya berhenti di area gusi, tetapi menyebar ke seluruh tubuh melalui aliran darah.

Gusi yang meradang ditandai dengan kemerahan, pembengkakan, dan perdarahan. Kondisi ini menjadi penanda adanya inflamasi aktif yang memicu respons sistemik. Ketika sinyal peradangan tersebut mencapai plasenta, pembuluh darah dapat mengalami penyempitan.

Akibat penyempitan tersebut, suplai nutrisi dan oksigen ke janin menjadi berkurang. Dalam jangka panjang, kondisi ini dapat berdampak pada pertumbuhan janin. Salah satu risiko yang muncul adalah bayi lahir dengan berat badan rendah, yakni di bawah 2,5 kilogram.

Risiko Kelahiran Prematur Akibat Penyakit Gusi

Selain berat badan lahir rendah, penyakit gusi juga dikaitkan dengan meningkatnya risiko kelahiran prematur. Sejumlah penelitian menunjukkan adanya hubungan antara peradangan gusi dengan kelahiran sebelum usia kehamilan mencapai 37 minggu.

Sinyal inflamasi yang berasal dari gusi dapat memicu kontraksi rahim lebih awal. Hal ini membuat proses persalinan terjadi sebelum waktunya. Kondisi tersebut tentu membawa risiko tersendiri bagi kesehatan bayi, terutama terkait kematangan organ vital.

Kelahiran prematur dapat berdampak pada sistem pernapasan, pencernaan, dan kekebalan tubuh bayi. Oleh karena itu, menjaga kesehatan gusi selama kehamilan menjadi langkah penting dalam upaya pencegahan komplikasi kehamilan.

Kesadaran akan hal ini masih perlu terus ditingkatkan. Banyak ibu hamil yang belum menyadari bahwa keluhan gusi berdarah bukan sekadar masalah kecil, melainkan bisa menjadi tanda risiko kesehatan yang lebih besar.

Penyakit Gusi dan Risiko Penyakit Tidak Menular

Dampak penyakit gusi tidak hanya terbatas pada kehamilan. Dicky Levenus Tahapary, dokter Spesialis Penyakit Dalam Konsultan Endokrinologi, Metabolik, dan Diabetes Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, menjelaskan bahwa penyakit gusi juga berkontribusi terhadap risiko penyakit tidak menular.

Menurutnya, penyakit jantung dan stroke pada dasarnya dipicu oleh peradangan kronis derajat rendah yang berlangsung dalam waktu lama. Selama ini, faktor risiko yang dikenal antara lain diabetes, hipertensi, kolesterol tinggi, dan obesitas.

Namun, berbagai penelitian terbaru menunjukkan bahwa infeksi kronis juga berperan penting. Infeksi tersebut termasuk yang berasal dari rongga mulut dan gusi. Peradangan yang berlangsung terus-menerus dapat memperburuk kondisi pembuluh darah.

“Bakteri dari gusi yang meradang bisa masuk ke aliran darah dan memperburuk kondisi pembuluh darah,” katanya. Proses ini meningkatkan peradangan sistemik yang menjadi dasar munculnya penyakit jantung dan stroke.

Pada penderita diabetes, hubungan antara penyakit gusi dan diabetes bersifat dua arah. Diabetes meningkatkan risiko terjadinya penyakit gusi, sementara infeksi gusi dapat mempersulit pengendalian kadar gula darah. Risiko keparahan penyakit gusi pada diabetes tipe dua bahkan bisa meningkat hingga tiga kali lipat.

Beban Global dan Tantangan di Indonesia

Penyakit gusi kini menjadi salah satu isu kesehatan global yang kian mengkhawatirkan. Organisasi Kesehatan Dunia memperkirakan bahwa pada 2050 sekitar 1,5 miliar penduduk dunia akan menderita penyakit gusi berat atau periodontitis. Selain itu, sekitar 660 juta orang lainnya berisiko kehilangan gigi.

Data Global Burden of Disease Study 2021 menunjukkan bahwa Asia Tenggara, khususnya Indonesia dan Vietnam, termasuk wilayah dengan prevalensi periodontitis tertinggi di dunia. Penambahan kasus baru di kawasan ini diperkirakan mencapai sekitar 6,6 juta.

Di Indonesia sendiri, masalah gigi dan gusi masih menjadi keluhan utama masyarakat. Direktur Promosi Kesehatan dan Kesehatan Komunitas Kementerian Kesehatan RI, Elvieda Sariwati, menyampaikan bahwa hasil Program Cek Kesehatan Gratis menunjukkan masalah gigi masuk dalam lima besar temuan terbanyak.

Program tersebut telah menjangkau 63,5 juta penduduk dari berbagai kelompok usia. “Artinya, satu dari dua orang yang mengikuti cek kesehatan gratis mengalami gangguan gigi dan mulut,” ujarnya. Keluhan yang ditemukan beragam, mulai dari gigi berlubang hingga gangguan pada gusi.

Jumlah kasus cenderung meningkat seiring bertambahnya usia, menandakan bahwa masalah ini berlangsung dalam jangka panjang. Dampaknya tidak hanya pada kesehatan, tetapi juga pada produktivitas masyarakat. WHO memperkirakan kerugian produktivitas akibat masalah gigi dan mulut di Indonesia mencapai USD3.213 juta atau sekitar Rp53,3 triliun per tahun.

Sementara itu, pengeluaran negara untuk pelayanan kesehatan gigi dan mulut tercatat mencapai USD267 juta atau Rp4,46 triliun per tahun. Ironisnya, pengeluaran masyarakat Indonesia untuk perawatan gigi dan mulut hanya sekitar USD1 atau Rp16.600 per kapita per tahun. 

Kondisi ini menunjukkan pentingnya peningkatan kesadaran akan perawatan gigi dan gusi sebagai bagian dari investasi kesehatan jangka panjang.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index